Pada awal Desember tahun lalu, Rusia mengumumkan penyelesaian tugas anti terorismenya di Suriah. Kemudian, Presiden Rusia Vladimir Putin secara mendadak mengunjungi pangkalan udara Hemeimeem di Suriah, dan memberi instruksi agar angkatan bersenjata Rusia mulai menarik diri. Di akhir tahun 2017, serangkaian pengumuman ini seolah-seolah merupakan sebuah hadiah tahun baru yang telah lama dinantikan. Kekuatan terorisme yang merajalela di Suriah sebagian telah dibasmi. Perang saudara yang berlangsung selama enam tahun di Suriah akan segera berakhir. Mengenang kembali tahun lalu, dengan anti terorisme di Suriah, Rusia tidak saja memperkokoh hubungannya dengan Suriah, Turki dan Mesir, namun juga secara lebih lanjut meningkatkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
Pada tanggal 11 Desember tahun 2017, di bawah pengawalan beberapa pesawat perang, Presiden Rusia Vladimir Putin tiba di pangkalan udara Hemeimeem di Suriah. Dalam pidatonya, dia mengumumkan bahwa Rusia akan menarik kembali sejumlah besar angkatan bersenjatanya dari Suriah.
Dia juga menekankan, dua pangkalan militer Rusia di Tartus dan Hemeimeem yang berada di Suriah akan tetap ada. Jika pasukan teroris muncul kembali, Rusia akan melakukan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelumnya, Kementerian Pertahanan Rusia pernah mengumumkan bahwa seluruh kota dan daerah tempat tinggal para warga Suriah telah terbebas dari tangan organisasi teroris. Kepala Staff Umum Direktorat Operasional Angkatan Bersenjata Rusia Sergey Rudskyoy dalam jumpa pers mengumumkan bahwa tugas anti terorisme tentara Rusia di Suriah telah berakhir.
Direktur Pusat Timur Tengah Institut Studi Strategis Rusia Vladimir Fitin mengatakan, di tahun 2017, hasil utama Rusia di medan perang Suriah adalah mengalahkan kekuatan militer utama ISIS. Sebagian besar wilayah Suriah termasuk Kota Allepo, Homs, Deir Ezzor telah dibebaskan oleh tentara pemerintah Suriah, dan seluruh kota-kota besar di Suriah telah dikendalikan oleh pemerintah Suriah.
Pada Januari tahun 2017, pembicaraan perdamaian Astana mengenai masalah Suriah yang didorong oleh Rusia, Turki dan Iran memainkan peranan positif dalam menyelesaikan krisis Suriah. Dalam waktu beberapa bulan, pembicaraan perdamaian Astana telah berturut-turut diadakan dengan topik mencakup gencatan senjata, pembentukan zona peredaan konflik, pendirian Komisi Rekonsiliasi Nasional Suriah, dan pencapaian dokumen hasil terkait. Vladimir Fitin mengatakan, menjelang akhir operasi militer Rusia, Suriah telah menyambut tahapan yang baru. Bagi Rusia, merubah kemenangan militer menjadi pengaruh politik merupakan tantangan baru yang akan dihadapi Rusia selanjutnya.
Analis berpendapat, dilihat dari serangkaian aksi yang baru-baru ini dilakukan, Rusia sedang meningkatkan upaya penengahan bagi penyelesaian krisis Suriah melalui jalan politik. Khususnya mekanisme Rusia, Turki dan Iran yang telah memainkan peranan penting dalam proses politik Suriah. Pada akhir November tahun lalu, pemimpin Rusia, Turki dan Iran mengadakan pembicaraan di Sochi, Rusia selatan, dan dalam deklarasi gabungan yang telah ditandatangani menyatakan bahwa perwujudan penyelesaian masalah Suriah secara politik perlu diadakan dalam kondisi pemilu yang adil dan bebas, serta proses politik yang dibangun secara toleransi, bebas, setara, transparan serta didominan oleh rakyat Suriah. Terhadap hal ini, Rusia, Turki dan Iran siap memberikan bantuan kepada Suriah. Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, Rusia sedang melakukan persiapan untuk mengadakan Konferensi Dialog Perwakilan Nasional Suriah di Sochi. Pakar Rusia mengenai masalah Timur Tengah Vladimir Fitin mengatakan, terdapat banyak kekuatan eksternal dalam masalah Suriah, termasuk AS, negara-negara Arab, Turki, Iran, Rusia, dan negara-negara lainnya yang aktif terlibat dalam proses penengahan situasi Suriah.
Pada September tahun 2015, angkatan udara Rusia mulai melancarkan serangan terhadap ISIS dalam wilayah Suriah. Ketika itu, 70% wilayah Suriah dikendalikan oleh elemen teroris. Dengan bantuan Rusia, tentara pemerintah Suriah berhasil memutarbalikkan situasi. Dua tahun kemudian, organisasi-organisasi teroris termasuk ISIS sebagian besar telah dibasmi. Rezim Bashar perlahan-lahan mulai terlepas dari krisis. Rusia pun memperoleh kemenangan dalam perang anti terorisme di Suriah. Analis berpendapat, mengalahkan ISIS tidak berarti menyelesaikan masalah Suriah. Pasca era ISIS, Rusia menghadapi tantangan baru di Suriah, yakni bagaimana menyelesaikan perubahan identitas dari "pemenang anti terorisme" menjadi "pembawa perdamaian". Sementara itu, Rusia meningkatkan kerja sama dengan Iran, Mesir, Turki, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya untuk mengungkapkan niatnya dalam menyusun kembali kekuatannya di Timur Tengah. Dapat dikatakan, Rusia, AS serta sejumlah negara besar di Timur Tengah akan terus beradu strategi seputar proses politik Suriah.